Berita Yayasan

Bergerak dengan Hati, Ironi Pemulihan Pendidikan

Opini: Syabar Suwardiman
Asesor Program Sekolah Penggerak

Kamis, 25 November 2021 | 06:33 WIB

“Bergerak dengan Hati, Pulihkan Pendidikan”, itulah tema Hari Guru Nasional yang jatuh pada tanggal 25 November 2021. Hati adalah pusat kontrol segala kebaikan. Setiap kita akan melakukan sebuah perbuatan, tanyalah hatimu. jJika tidak membuat hati kita tenang, maka tinggalkan perbuatan itu.

Sesuatu yang datangnya dari hati akan ditangkap juga dengan hati. Itulah ucapan terkenal dari H Agus Salim saat berpidato di PBB, di hadapan pemimpin dunia, saat sedang dalam upaya meluaskan pemahaman bahwa Indonesia sudah merdeka.

Bergerak dengan hati, menggambarkan bahwa situasi bangsa akibat pandemi Covid 19 membutuhkan gerakan yang timbulnya dari hati. Tidak ada pertanyaan balik, lakukan sesuai dengan kemampuan kita, lakukan dengan ikhlas.

Hampir dua tahun pandemi melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kondisi saat ini juga masih belum pasti. Gelombang 3 Covid-19 dengan varian baru masih mengancam kehidupan manusia. Salah menerapkan kebijakan, siap-siap lagi dilanda kepanikan karena daya tampung fasilitas kesehatan yang tidak mencukupi.

Bergerak dengan hati, para guru harus sering memberikan banyak pemakluman. Siswa yang belum siap sepenuhnya belajar kembali, keluhan orang tua dengan kondisi anaknya, tertunda pembayaran uang sekolah dari para orang tua karena terganggu usahanya, itu semua menjadi suatu situasi yang tidak pernah kita bayangkan.

Semua akan bisa kita atasi jika kita bergerak bersama, menyatukan hati, menyatukan kebaikan sehingga bisa segera pulih kembali, khususnya di dunia pendidikan. Situasi yang menuntut untuk berbesar hati, memaklumi keadaan, meskipun kondisi para guru juga banyak yang masih jauh dari kondisi sejahtera.

Seperti nasib Pak Sukardi, yang rumahnya sempat jadi tempat menginap Pak Menteri Nadiem. Dia hanya mendapatkan honor Rp 200.000 per bulan.

Menurut data, ada sekitar 3,36 juta guru non-PNS, termasuk di dalamnya para guru honorer. Nasib para guru ini sangat bergantung pada kemampuan para penyelenggara sekolah swasta. Mayoritas nasib guru masih jauh dari harapan sejahtera. Kesejahteraan masih milik guru dengan status guru PNS, meskipun tidak berbanding lurus dengan kualitas pendidikan di Indonesia.

Menurut RISE atau Research on Improving Systems of Education melalui studi kualitatifnya, fokus perekrutan guru adalah untuk memenuhi kebutuhan menjadi aparatur sipil negara (ASN), bukan profesionalitas guru tersebut.

Pemerintah telah berupaya memperbaiki sistem perekrutan guru, termasuk status kepegawaian guru, status mereka sebagai ASN PPPK, bukan lagi PNS. Setiap waktu mereka akan dievaluasi, jika kinerjanya baik maka akan terus dipertahankan.

Program lainnya adalah Program Guru Penggerak, mereka akan dididik selama 9 bulan setelah melalui seleksi yang sangat ketat oleh pemerintah. Bahkan nantinya untuk mengisi posisi kepala sekolah, harus berasal dari Program Guru Penggerak. Timbul pertanyaan, bagaimana dengan guru yang lolos menjadi Guru Penggerak, tetapi berasal dari unsur guru PPPK atau dari swasta? Kita masih menunggu realisasi kebijakan ini.

Menjamin Hak-hak Guru
Dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada Pasal 14 ayat (1) terdapat 12 hak guru yang dijamin UU. Hal tersebut di antaranya, memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual, memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas, serta memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan.

Untuk kesejahteraan, masih banyak guru yang berpenghasilan jauh di bawah kebutuhan minimal. Ini ironi. Guru yang jelas menjaga para penerus bangsa, bahkan banyak hal tidak mampu dilakukan orang tua, ternyata penghasilan guru masih jauh dari keadaan ideal.

Sebaliknya pekerjaan-pekerjaan yang jauh dari penegakan moral mendapatkan penghasilan yang sangat besar, bagaikan langit dan bumi. Bahkan hanya sekadar didaftarkan untuk mendapatkan perlindungan jaminan sosial pun banyak yang masih enggan untuk melaksanakannya.

Bagaimana dengan hak memperoleh rasa aman dan jaminan dalam melaksanakan tugas? Coba kita buka lagi arsip lama pemberitaan, ada guru yang dikeroyok siswa, ada lagi guru yang dipukul siswanya ketika melarang merokok. Bahkan dalam beberapa kasus, ada orang tua yang langsung menghajar guru karena tersinggung anaknya dihukum oleh guru. Pandemi seakan membuka kotak pandora, betapa pekerjaan menjadi guru itu sangat berat dan tentunya mulia.

Kalau hanya mengajar lalu tak peduli dengan perilaku siswa, tentunya sangat ringan. Namun, dalam profesi guru melekat tugas negara, apalagi sekarang jelas yaitu mewujudkan pelajar Pancasila. Pancasila adalah nilai moral bangsa ini.

Itulah beberapa ironi atas hak-hak guru, padahal telah sangat jelas dijamin undang-undang.

Bergerak dalam Kebaikan
Hakikat menjadi guru tentunya sudah melekat untuk terus bergerak mewujudkan kebaikan. Dalam sejarah, sejak zaman pergerakan menuju terbentuknya negara Indonesia, para guru terus bergerak untuk ikut mewujudkannya.

Tercatat dalam sejarah, pada tahun 1912 guru-guru pribumi mendirikan Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). Organisasi guru ini bersifat unitaristik, tidak memandang perbedaan agama, suku, golongan, gender, asal usul, ijazah, tempat kerja dan kedudukan mereka.

Pada tahun 1932 PGHB berubah menjadi Persatuan Guru Indonesia, dan semakin terlihat lebih mencerminkan semangat kebangsaan. Kemudian tiga bulan setelah kemerdekaan, terbentuklah Persatuan Guru Republik Indonesia, tepatnya pada tanggal 25 November 1945. Tanggal inilah yang diperingati sebagai Hari Guru Nasional hingga sekarang.

Dalam kehidupan sehari-hari, para guru pun sering terlibat dalam berbagai kegiatan masyarakat. Di antaranya, menjadi pengurus organisasi kemasyarakatan. Dalam kegiatan Pemilu, para guru juga sering terlibat sebagai panitia pemungutan suara. Seperti disebutkan, sudah hakikatnya guru bergerak dalam kebaikan.

Kemendikbudristek, di bawah kepemimpinan Menteri Nadiem Makarim, mencanangkan Sekolah Penggerak, yang di dalamnya ada program Guru Penggerak. Ini seakan menegaskan posisi strategis yang diemban oleh seorang guru.

Mengutip laman resmi Kemendikbudristek, guru penggerak adalah pemimpin pembelajaran yang mendorong tumbuh kembang murid secara holistik, aktif, dan proaktif dalam mengembangkan pendidik lainnya untuk mengimplementasikan pembelajaran yang berpusat kepada murid, serta menjadi teladan dan agen transformasi ekosistem pendidikan untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila.

Itulah profesi guru senantiasa bergerak dalam kebaikan. Semoga ini bukan sebuah ironi, dengan nasib para guru yang masih bergelut dengan pemenuhan kesejahteraannya.

Sumber : www.beritasatu.com

https://www.beritasatu.com/opini/7945/bergerak-dengan-hati-ironi-pemulihan-pendidikan

Yayasan Bina Bangsa Sejahtera Bogor, Sekolah Islam Terpadu untuk berprestasi dalam ridho Ilahi.

Jl. Raya Dramaga KM. 7, Margajaya, Kec. Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat-16116

(0251) 862 2851

yayasan@sitbbs.sch.id